MAKALAH FILSAFAT ILMU (INTEGRASI SAINS DAN ISLAM)
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PENGAKUMULASI LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DAN TEMBAGA (Cu)
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia dalam melaksanakan aktifitasnya dalam kehidupan sehari-hari
akan selalu menghasilkan suatu bahan yang tidak diperlukan yang disebut dengan
limbah. Diantara limbah yang dihasilkan oleh kegiatan manusia di lingkungan
industri yaitu limbah bahan berbahaya dan beracun. Penanganan dan pengolahan
limbah yang tidak baik di lingkungan industri tersebut akan menyebabkan
terjadinya pencemaran lingkungan.
Pencemaran
lingkungan akibat berbagai faktor saat ini sudah sangat membahayakan bagi
kesehatan manusia. Terutama dalam pencemaran air yang menjadi suatu
permasalahan yang perlu dicari solusinya. Untuk itu, diperlukan pengolahan air
secara baik agar tidak membahayakan kelangsungan hidup organisme terutama manusia
(Darmono, 2001).
Parameter dari limbah cair yang dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan adalah adanya kandungan logam berat (Wisjnuprapto,
1996). Keberadaan logam berat dalam perairan akan sulit mengalami degradasi,
bahkan logam berat tersebut akan ikut terakumulasi ke dalam tubuh organisme.
Menurut Palar (1994), logam berat yang terakumulasi ke dalam tubuh akan
berbahaya karena dapat merusak organ-organ vital seperti saraf, hati dan
ginjal. Adanya logam berat dalam konsentrasi tinggi di lingkungan merupakan
permasalahan yang sangat penting karena dapat menimbulkan permasalahan ekologi
yang serius. Menurut Haryadi (1996) pencemaran logam berat seperti timbal,
krom, kadmium, raksa dan arsen umumnya disebabkan oleh beberapa industri yang
dalam proses produksinya menggunakan bahan-bahan yang mengandung logam berat
tersebut. Menurut Palar (1994), salah satu logam berat yang paling sering
menjadi polutan pada lingkungan adalah Pb karena merupakan limbah yang sering
digunakan baik dalam rumah tangga hingga industri besar.
Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang
bioteknoogi lingkungan, yaitu dengan memanfaatkan agen-agen biologi dalam
mengendalikan pencemaran (Munir, 2006). Salah satu agen biologi untuk bioremediasi
tersebut adalah mikroba dari kelompok bakteri (Waluyo, 2005). Menurut Vijayaraghavan dan Yun (2008),
bioremediasi logam berat menggunakan bakteri menguntungkan karena lebih
feasible, sebab bakteri dapat melakukan degradasi dan transformasi logam
berat. Feliatra (1996) menyatakan bahwa bioremediasi oleh mikroorganisme
merupakan salah satu cara yang tepat, efektif, dan hampir tidak ada pengaruh
sampingnya pada lingkungan, karena tidak menghasilkan racun. Sedangkan menurut Gazso
(2001) keuntungan pemanfaatan mikroorganisme sebagai biosorben adalah biaya
operasional rendah, efisiensi dan kapasitas pengikatan logam tinggi, lumpur
yang dihasilkan minimum, memiliki mekanisme regenerasi sehingga dapat digunakan
kembali, bahan bakunya banyak tersedia dan mudah didapat, serta tidak
memerlukan tambahan nutrisi jika menggunakan mikroba yang sudah mati.
Mikroorganisme khususnya bakteri mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap logam dan dapat mengakumulasi logam berat.
Menurut Munir (2006) bakteri dapat tumbuh pada lingkungan yang tercemar logam
berat dan seringkali resisten terhadap logam berat karena menghasilkan senyawa
biosurfaktan/bioemulsi yang dapat menyerap berbagai jenis logam berat seperti
kadmium (Cd), kromium (Cr), timbal (Pb), tembaga (Cu), dan zink (Zn) dari tanah
yang terkontaminasi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Al Qur’an
Ar-Rum ayat 41
sebagai berikut :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي
النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ (٤١)
Artinya :
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar) (QS. Ar-Rum(30):41).
2.1.1 Tafsir
Ibnu’Abbas, ‘Ikrimah, adh-Dhahhak,
as-Suddi dan lain-lain berkata : “Yang dimaksud dengan البر di dalam ayat ini adalah hamparan
padang yang luas. Sedangkan yang dimaksud Al-Bahri adalah
kota-kota dan kampung-kampung.” Dan di dalam satu riwayat, Ibnu ‘Abbas dan
‘Ikrimah berkata “Al-Bahri adalah kota-kota dan kampung-kampung
yang berada di sisi pantai.” Sedangkan ulama lain mengatakan : “Yang
dimaksud الْبَرِّ di sini
adalah daratan yang kita kenal dan Al-bahri adalah lautan yang
kita kenal dalam arti kata tersebut” Zaid bin Rafi’ berkata ((ظهرالفساد
“Telah nampak kerusakan” yaitu, terhentinya hujan di daratan yang diiringi oleh
masa paceklik serta dari lautan, yaitu yang mengenai binatang-binatangnya (HR.
Ibnu Abi Hatim). Pendapat pertama lebih jelas serta
menjadi pegangan kebanyakan ahli tafsir. Maka firman Allah di atas yang atinya “Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia,” yaitu, kekurangan tanaman-tanaman dan buah-buahan disebabkan oleh
kemaksiatan.
Abul ‘Aliyah berkata : “Barang siapa
yang berlaku maksiat kepada Allah di muka bumi, berarti dia telah berbuat
kerusakan didalamnya. Karena kebaikan bumi dan langit adalah dengan sebab
ketaatan.”
Hal ini juga ditegaskan dalam tafsir
jalalayn bahwa (Telah tampak
kerusakan di darat) disebabkan
terhentinya hujan dan menipisnya tumbuh-tumbuhan (dan di laut) maksudnya
di negeri-negeri yang banyak sungainya menjadi kering (disebabkan perbuatan
tangan manusia) berupa perbuatan-perbuatan maksiat (supaya Allah
merasakan kepada mereka) dapat dibaca liyudziiqahum dan linudziiqahum;
kalau dibaca linudziiqahum artinya supaya Kami merasakan kepada mereka (sebagian
dari akibat perbuatan mereka) sebagai hukumannya (agar mereka kembali)
supaya mereka bertobat dari perbuatan-perbuatan maksiat.
Sedangkan Quraish Shihab menafsirkan bahwa telah terlihat
kebakaran, kekeringan, kerusakan, kerugian perniagaan dan ketertenggelaman yang
disebabkan oleh kejahatan dan dosa-dosa yang diperbuat manusia. Allah
menghendaki untuk menghukum manusia di dunia dengan perbuatan-perbuatan mereka,
agar mereka bertobat dari kemaksiatan.
Berdasarkan beberapa tafsir di atas dapat
dikatakan bahwa adanya kerusakan di darat dan di laut seperti perairan telah
tercemar, kualitasnya menurun, serta terjadinya perubahan tatanan dan fungsi
ekologi disebabkan oleh tangan manusia sendiri atau ulah manusia sendiri.
Dampak dari hal tersebut adalah dapat membahayakan biota, sumber daya, dan
kenyamanan ekosistem perairan. Di darat semakin panas dan terjadi kemarau
panjang, sehingga keseimbangan lingkungan menjadi kacau. Kesalahan akibat ulah
manusia tersebut bisa jadi akibat kurang memahami alam, kurang memiliki
kesadaran lingkungan atau justru karena keserakahan manusia itu sendiri.
Kerusakan akibat kesalahan manusia dapat mengancam kehidupan dan kelestarian
alam. Untuk itu, hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya ini harus selalu
diperhatikan agar alam selalu serasi, selaras dan seimbang. Manusia sebagai khalifah
di bumi memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam.
Agar dapat memainkan perannya dengan baik, maka perlu mempelajari tentang
interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Dengan demikian, manusia
dapat mengetahui cara untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian, atau bahkan
menanggulangi jika terjadi kerusakan.
Saat ini, banyak
cara yang dimanfaatkan dalam melestarikan lingkungan. Salah satunya yaitu
memanfaatkan mikroba untuk memperbaiki kualitas lingkungan itu sendiri terutama
dalam lingkungan tanah dan perairan yang disebut dengan bioremediasi.
Pemanfaatan bioremediasi sendiri sangat menguntungkan karena mikroorganisme
dapat mendegradasi kontaminan di suatu lingkungan yang awalnya bersifat racun
menjadi bentuk yang tidak mengandung racun (air dan karbon dioksida) (Vidali, 2001).
2.1.2 Ababun Nuzul
Timbulnya kerusakan baik di darat maupun di
laut, adalah sebagai akibat dari perbuatan manusia itu sendiri. Karena
merekalah yang ditugaskan Tuhan untuk mengurus bumi ini. Mereka mempunyai
inisiatif dan daya kreatif. Sedangkan segala makhluk, selain manusia yang ada
di permukaan bumi ini bergerak hanya menurut tabiat dan instingnya yang telah ditetapkan
Allah kepadanya, mereka tidak mempunyai inisiatif (naluri) daya upaya selain
dari insting itu.
Karena itu segala makhluk selain manusia, keadaannya tetap sejak dulu kala sampai sekarang. Mereka tidak mengalami perubahan. Hanya manusia sendirilah yang hidup bermasyarakat dan mempunyai kebebasan. Mereka mempunyai akal dan berkebudayaan. Kebudayaan manusia itu makin lama makin maju sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Karena itu segala makhluk selain manusia, keadaannya tetap sejak dulu kala sampai sekarang. Mereka tidak mengalami perubahan. Hanya manusia sendirilah yang hidup bermasyarakat dan mempunyai kebebasan. Mereka mempunyai akal dan berkebudayaan. Kebudayaan manusia itu makin lama makin maju sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam
ayat ini dinyatakan bahwa kerusakan itu timbul di darat dan di laut. Sebagian
ulama tafsir berpendapat bahwa "laut" di sini berarti kota-kota besar
atau desa-desa yang di pinggir laut. Sedangkan darat artinya kampung-kampung
atau desa-desa yang terdapat di darat atau padang pasir. Pernyataan Allah itu
merupakan suatu petunjuk bahwa kerusakan itu adalah insidentil sifatnya.
Sebelum ada manusia tak ada kerusakan. Tetapi bersamaan dengan adanya manusia
maka kerusakan itupun terjadi pula.
Kerusakan yang terjadi di permukaan bumi
ini mungkin juga timbul karena kesyirikan, keingkaran dan kesesatan manusia.
Mereka tak mau menuruti perintah Allah yang disampaikan oleh para Rasul-Nya.
Hal ini dapat dilihat pada peristiwa perkelahian antara Habil dan Qabil,
peristiwa kaum Samud, tenggelamnya kaum Nuh dan lain-lain. Kemudian
ayat 41 ini diteruskan dengan pertanyaan bahwa kerusakan itu terjadi karena
ulah tangan manusia itu sendiri.
Ayat 41 ini mengingatkan
akan adanya perbuatan buruk yang sifatnya merusak di permukaan bumi. Manusia
yang berakal hendaknya menjauhi perbuatan buruk itu, dan berbuat sesuatu yang
berguna bagi masyarakat. Kalimat yang menyatakan bahwa “agar mereka
merasakan sebagian akibat perbuatan buruk mereka itu” merupakan rahmat agar
mereka kembali kepada Allah di waktu yang dekat serta berjalan di atas jalan
yang benar. Andai kata Allah menyiksa semua manusia yang melakukan perbuatan
jelek tentu mereka akan hancur semuanya, bahkan semua binatang yang melata pun
di bumi ini turut hancur.
2.2 Hadits
قال
رسول الله ص.م مَنْ أَحْيَ أَرْضًا
مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ
Rasulullah
bersabda : “Barang siapa menghidupkan bumi yang mati maka (bumi) itu menjadi
miliknya” (HR. Tirmidzi).
Mawat
atau tanah atau bumi yang mati maksudnya tanah yang tidak ada pemiliknya. Para
fuqaha’ (Ahli Fiqh) dalam “Al Mulakhkhash Al Fiqhiy, Fiqhus Sunnah, dan Al Fiqhul Muyassar
fii Dhau'il Kitab was Sunnah” memberikan ta’rif bahwa mawat
adalah tanah yang terlepas dari kekhususan dan kepemilikan yang terpelihara.
Ada pula yang memberikan ta'rif, bahwa Ihyaa'ul mawaat adalah menyiapkan tanah
yang mati yang belum digarap oleh yang lain dan menjadikannya bisa dimanfaatkan
baik untuk dipakai tempat tinggal maupun dipakai bercocok tanam, dan
sebagainya. Ada pula yang memberikan ta'rif, bahwa tanah yang mati adalah tanah
yang tidak dimiliki seseorang, tidak ada bekas penggarapan, atau tidak ada
bekas kepemilikan dan penggarapan, dan tidak diketahui pemiliknya.
Dari ta’rif fuqaha' di atas dapat diketahui, bahwa tidak
termasuk ke dalam mawat (tanah yang mati) dua masalah ini:
1. Jika
masih dalam kepemilikan yang terpelihara dari orang muslim dan orang kafir
dengan adanya jual beli, pemberian, atau cara lainnya sehingga memilikinya.
2. Terkait dengan maslahat milik orang yang terpelihara, seperti
jalan, halaman, saluran air atau terkait dengan maslahat penduduk suatu desa
seperti untuk penguburan mayit, tempat pembuangan sampah, lapangan khusus
shalat ‘Iedain, area kayu bakar dan ladang rumput untuk gembala. Maka semua ini
tidak bisa dimiliki dengan menghidupkannya.
Islam
mencintai manusia meluaskan bagiannya dalam menggarap dan bertebaran di muka
bumi serta menghidupkan tanah yang mati sehingga kekayaan mereka banyak dan
mereka menjadi kuat. Oleh karena itu, Islam menyukai pemeluknya mendatangi
tanah yang mati lalu menghidupkannya, menggali kebaikannya dan memanfaatkan
keberkahannya. Bumi atau tanah yang mati pada hadits tersebut
mempunyai beberapa makna. Yaitu bumi yang kering, tidak berair sehingga gersang
tidak menumbuhkan tanaman. Dan bisa juga diartikan bumi yang tidak terawat sehingga
tidak memberi manfaat atau tidak produktif dan tidak bertuan.
Rasulullah
SAW menyatakan barang siapa yang mampu menghidupkan bumi yang mati itu maka
bumi tadi menjadi miliknya. Dapat dipahami bahwa, barang siapa mampu menjadikan
tanah gersang tadi menjadi produktif dan menghasilkan manfaat, maka ia berhak
mendapatkan bumi tadi, dan itu akan menjadi miliknya.
Perlu
dipahami, bahwa tanah dan bumi pada zaman Rasulullah SAW sangat luas dan lebih
luas daripada jumlah penduduk pada saat itu. Sehingga sangat dimungkinkan
banyak tanah yang tidak terawat tentunya tanah tersebut bukan hak milik
siapa-siapa, sehingga Rasulullah SAW menyatakan orang yang merawatnya berhak
menjadikan tanah tadi menjadi hak miliknya. Hal tersebut merupakan penghargaan
bagi siapa yang peduli terhadap kelestarian lingkungan alam. Seseorang yang
menghidupkan bumi akan mendapatkan dua keuntungan yaitu mendapatkan hasil
dari tanah yang diolah dan juga memperkecil terjadinya erosi atau pengikisan
tanah yang dampaknya pasti akan bisa dirasakan oleh semua penduduk. Oleh sebab
itu, sangat penting dalam menjaga lingkungan disekitar kita agar tidak
memberikan dampak bagi diri sendiri dan orang lain.
Banyak
cara dalam melestarikan lingkungan, salah satunya dengan memanfaatkan mikroba
yang disebutkan dalam hadits di bawah ini :
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ إِنَاءِ
أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِيْ إِحْدَى
جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِيْ الآخَرِ شِفَاءً
Dari Abu Hurairah bahwasanya
Rasulullah bersabda: “Apabila lalat jatuh di bejana salah satu diantara
kalian maka celupkanlah karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan
pada sayap lainnya terdapat obat penawarnya” (HR. Al Bukhari No. 3320).
Dikutip dari halaman situs Dr. Zaghloul
El-Nagger, seorang professor Muslim di bidang sains, memberikan penjelasan
ilmiah tentang hadist ini. Menurut El-Nagger, hadis ini berarti bahwa lalat itu
membawa penyakit di salah satu sayapnya, dan obat dari penyakit tersebut di
sayap yang lain. Ketika seekor lalat jatuh ke dalam wadah (makanan atau minuman),
lalat tersebut membawa mikroba di salah satu sayapnya, sebagai pertahanan diri.
Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam komentarnya tentang hadis ini bahwa salah satu
ulama mengamati bahwa lalat melindungi dirinya dengan sayap kiri, sehingga
dapat ditarik kesimpulan bahwa lalat membawa obat atau penangkal di sayap
kanan. Jadi jika lalat direndam di wadah tempat ia jatuh, obat penawar itu akan
menghancurkan racun atau mikroba dengan kehendak Allah.
Sekelompok peneliti Muslim di Mesir dan Arab
Saudi melakukan beberapa percobaan pada wadah berbeda yang berisi air, madu dan
jus. Mereka membiarkan jenis cairan tersebut dihinggapi lalat. Kemudian mereka
tenggelamkan lalat di beberapa wadah ini. Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan
bahwa cairan yang tidak ada lalat ditengelamkan mengandung banyak bakteri dan
virus, sementara wadah yang lain di mana lalat benar-benar ditenggelamkan tidak
terdapat bakteri dan virus. Jadi, dapat dikatakan bahwa mikroorganisme atau
bakteri dapat dimanfaatkan sebagai penawar atau penghancur racun dalam
lingkungan yang tercemar juga.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat diambil dari pembahasan di atas yaitu solusi pencemaran lingkungan
yang semakin meningkat akibat ulah manusia sendiri dapat diatasi dengan
berbagai cara. Salah satunya dengan memanfaatkan agen biologi seperti bakteri. Bakteri
dapat mengolah limbah yang tadinya bersifat racun yang dapat membahayakan
manusia menjadi limbah yang tidak bersifat racun atau aman untuk dibuang ke
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Darmono. 2001. Lingkungan
Hidup dan PencemarHubungan dengan Toksikologi Senyawa Logam. Jakarta :
Universitas Indonesia.
El-Naggar, Zaghloul. Mikrobiologi Dalam Perspektif Islam.
http://www.elnaggarzr.com/en/. Diakses pada tanggal 11 Desember 2018.
Feliatra. 1996.
Isolasi, Identifikasi dan Tingkat Penguraian Produk Minyak Bumi Oleh Bakteri
pada Perairan Selat Malaka. Jakarta : Prosiding Seminar Biotekhnologi
Kelautan Indonesia I ’98.
Gazso, L. G.
2001. The Key Microbial Processes in The Removal of Toxic Metals and
Radionuclides From The Environment. Central European J. Occupational of
Environ. Med. 7(3) : 178-185.
Haryadi. 1996. Heavy
Metal Content In Industrial Wastes In Indonesia, In Symposium And Workshop On
Heavy Metal Biaccumulation. Yogyakarta : IUC Botechnology UGM.
Jalaluddin, Al-Mahalli, dkk. 2006. Tafsir Jalalain.
Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Katsir, Ibnu. 1990. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir.
Surabaya : PT. Bina Ilmu.
Kitab
Sahih Al Bukhari : Imam Al Bukhari No. 3320 Juz 4 hal. 130.
Munir, E. 2006.
Pemanfaatan Mikroba dalam Bioremediasi : Suatu Teknologi Alternatif Untuk
Pelestarian Lingkungan. Sumatra Utara : FMIPA Universitas Sumatra Utara.
Palar, H. 1994.
Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta : Rineka Cipta.
Shihab, Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah.
Jakarta : Lentera Hati.
Vidali, M.
2001. Bioremediation. Pure Appl. Chem. 73 : 1163-1172.
Vijayaraghavan,
K. dan Yun, Y. S. 2008. Bacterial Biosorbents and Biosorption. Biotechnology
Advances. 26 : 266-291.
Waluyo, L.
2005. Mikrobiologi Lingkungan. Malang : UMM Press.
Wisjnuprapto.
1996. Bioremediasi, Manfaat dan Pengembangannya. Cibinong : Prosiding
Pelatihan dan Lokakarya Peranan Bioremedias dalam Pengolahan Lingkungan.
Komentar
Posting Komentar